Berita psikiatri: Apakah diet sehat menurunkan depresi?

Kepatuhan untuk mengikuti program diet sehat, terutama diet Mediterranean yang dikenal banyak mengandung sayuran (diet mediterranean mengandung banyak sayuran, buah, kacang-kacangan, dan ikan), dan menghindari makanan terproses yang memiliki gula tinggi dan memicu inflamasi ternyata berasosiasi dengan penurunan risiko depresi. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah sistematic review baru dengan meta-analysis.

“Hal ini kembali menjadi penguat pendapat bahwa diet sehat tidak hanya memperbaiki kesehatan fisik, melainkan juga kesehatan mental,” kata Camille Lasale, PhD, peneliti utama dari review tersebut, sekaligus juga research associatedi Departemen Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat University College London, Inggris, kepada tim Medscape Medical News.

“Bagi ahli kesehatan jiwa, temuan baru ini menyediakan dukungan tambahan untuk mendorong pasien mengikuti program diet yang lebih sehat,” tambah Lassale.

“Pola makan yang tidak sehat dapat menyebabkan banyak penyakit lain, jadi tidak akan salah jika anda menyarankan pasien mengurangi makanan terproses dan menambahkan lebih banyak buah dan sayur pada makanan sehari-hari,” katanya. Temuan ini dipublikasikan secara online pada 26 September di jurnal Molecular Psychiatry.

“Bukti yang cukup kuat”

Setelah mencari literatur untuk penelitian berbahasa Inggris yang meninjau hubungan pola makan dengan depresi, peneliti menganalisis 41 penelitian dalam review tersebut. Kebanyakan penelitian tersebut melibatkan partisipan yang sehat.

Di antara penelitian tersebut, 20 penelitian mengamati subyek secara longitudinal, sedangkan 21 penelitian menggunakan desain cross-sectional . “Di antara penelitian longitudinal, kami hanya meninjau lebih lanjut penelitian yang memiliki “penyesuaian analisis yang cukup baik” untuk melibatkan berbagai faktor gaya hidup yang bisa memengaruhi depresi, misalnya merokok, kurang olahraga, dan body mass index,” kata Lassale.
Analisis dilakukan untuk membandingkan skor pola makan yang ditetapkan sebelum penelitian. Beberapa penelitian melibatkan lebih dari satu variabel terkait pola makan.

Sepuluh penelitian menggunakan instrumen Mediterranean Diet Score (MDS), tujuh penelitian menggunakan the Healthy Eating Index (HEI) atau the Alternative Healthy Eating Index (AHEI), empat penelitian menggunakan the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet score, sembilan menggunakan the Dietary Inflammatory Index (DII), dan lima belas lainnya menggunakan instrumen lain.
Instrumen MDS melibatkan sembilan item: Lima item tentang makanan sehat (buah, sayur, kacang, sereal, ikan), dua item tentang makanan kurang sehat (daging dan produk susu sapi), satu item tentang lemak harian, dan satu item tentang konsumsi alkohol.

Tiga penelitian cross-sectional tentang diet Mediterranian mendapatkan hasil yang tidak konsisten. Di sisi lain, hasil dari empat penelitian longitudinal menunjukkan bahwa orang dengan kepatuhan tinggi dalam menjalankan diet sehat memiliki risiko depresi lebih rendah (odds ratio[OR], 0.67; 95% confidence interval [CI] 0.55 – 0.82) dibandingkan orang dengan kepatuhan rendah.

“Diet Mediterranean memiliki ‘bukti yang paling meyakinkan’ bahwa makanan sehat nemiliki dampak pada depresi,” kata Lassale. Dia menambahkan bahwa diet ini juga merupakan pola diet yang paling banyak diteliti.

Hubungan yang kuat

“Indeks lain yang juga memiliki asosiasi yang kuat dengan depresi adalah dietary inflammatory index (DII),” Lassale menambahkan. Index ini menilai kuantitas efek keseluruhan pola makan terhadap potensi inflamasi dengan 45 parameter.

“Penelitian yang menggunakan indeks ini ‘lebih sulit untuk diinterpretasi’, karena skor DII tidak hanya berdasarkan pada makanan melainkan juga pada faktor-faktor inflamasi, sepertiC-reactive protein, polyphenols, dan sitokin pro-inflamasi,” kata Lassale. Dia memberikan penekanan bahwa makanan-makanan dalam diet Mediterranian
(Misalnya ikan berlemak, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan tanah, kacang pohon, dan makanan-makanan alami lain yang berbasis tanaman) juga memiliki efek anti inflamasi.

Sebaliknya, makanan yang memicu inflamasi adalah makanan dengan tinggi lemak trans, lemak jenuh, gula, dan “segala sesuatu yang diproses pabrik secara berlebihan”.

Lima penelitian kohort dan empat penelitian cross-sectional menganalisis skor DII.
Dengan membandingkan makanan yang paling rendah efek inflamasinya dengan makanan yang tinggi efek inflamasi, didapatkan asosiasi dengan depresi baik pada penelitian longitudinal (OR 0.76; 95% CI 0.63 – 0.92) dan cross-sectional (OR 0.64; 95% CI 0.45 – 0.91).

“Kita dapat melihat bahwa semakin rendah makanan yang proinflamasi, semakin kecil risiko depresi,” kata Lassale.

Hasil yang serupa

Hasil analisis juga menunjukkan hasil yang serupa untuk penelitian dengan indeks yang dibuat dari American dietary guidelines, yaitu indeks HEI dan AHEI. Panduan pola makan tersebut menekankan pada konsumsi buah dan sayur, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkab lemak dan produk susu.

Tiga penelitian longitudinal membandingkan kejadian depresi lebih rendah pada individu yang mengikuti pola makan baik berdasarkan indeks tersebut (OR 0.76; 95% CI 0.57 – 1.02). Namun, peneliti memberikan catatan bahwa “hubungan ini nyaris tidak signifikan”. Perlu juga diperhatikan bahwa perkiraan pada ketiga penelitian ini cukup heterogen.
Di sisi lain, penelitian cross-sectional menunjukkan hubungan skore HEI dan AHEI dengan prevalensi depresi (OR 0.53; 95% CI 0.38 – 0.75) tanpa menunjukkan hasil yang heterogen.

Sebagai tambahan, empat penelitian menggunakan the DASH diet score atau versi modifikasi lain. Skor ini memiliki delapan komponen. Komponen negatif adalah makanan manis, daging, dan natrium, sedangkan komponen positif adalah buah, sayur, kacang-kacangan, whole grain, dan produk susu rendah lemak.

The DASH index menunjukkan hasil yang paling tidak konsisten,” kata Lassale. “Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara diet DASH (diet sehat untuk hipertensi) dengan depresi.”

Pada penelitian longitudinal satu-satunya, peneliti menemukan hubungan dengan depresi hanya setelah mengkorelasikan dengan komponen tertentu dari diet DASH(OR, 0.63). Beberapa komponen lainnya dari DASH tidak berkorelasi dengan depresi.

Hasil dari penelitian cross-sectional menunjukkan tidak adanya hubungan kecuali pada subgrup remaja wanita Iran. Terdapat hubungan antara skor DASH dengan gejala depresi(OR, 0.47).

Lassale memberikan pendapat bahwa mungkin kurangnya asosiasi disebabkan karena sifat diet DASH yang “tidak menghindari daging dan produk susu, melainkan hanya mencari pilihan daging dan susu yang rendah lemak.” Hal ini berbeda dari diet Mediterranian yang menganggap produk susu dan daging sebagai komponen diet yang kurang sehat. Diet DASH lebih banyak diteliti dan direkomendasikan untuk mengurangi tekanan darah.

Mekanisme Biologis

“Beberapa mekanisme biologis mungkin dapat menjelaskan hubungan pola makan dengan depresi,” kata Lassale.
“Salah satu teori menyebutkan bahwa makanan alami berbasis tanaman yang kaya serat, vitamin B, dan poliphenol memiliki efek anti inflamasi dan mungkib memiliki dampak langsung pada fungsi otak, struktur otak, dan neurotransmitter.

“Terdapat hubungan kausatif yang kuat antara inflamasi dengan depresi,” Lassale menekankan. “Kami menemukan bahwa orang-orang dengan depresi memiliki C-reactive protein dan penanda inflamasi lain dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari individu tanpa depresi.”

“Banyak makanan dalam diet mediterranean yang mengandung konsentrasi tinggi asam lemak tak jenuh omega-3 yang tidak hanya memiliki efek anti-inflamasi tetapi juga mengurangi stres oksidatif,” katanya lagi. “Makanan-makanan tersebut mungkin memiliki efek langsung pada plastisitas sel-sel otak.”

Teori lainnya menyebutkan bahwa pola makan memengaruhi flora normal usus dan gut-brain axis. “Makanan sehat mungkin dapat mengubah hubungan antara bakteri usus dengan otak,” kata Lassale.

Dia memberikan catatan khusus bahwa kemungkinan ini semakin mendapatkan perhatian dari para peneliti yang mempelajari depresi.

Pembuktian kembali

Lassale menekankan bahwa analisis baru ini merangkum hasil-hasil penelitian yang semakin bertambah tentang pola makan dan depresi. “Selama beberapa tahun terakhir, orang-orang mulai berpikir bahwa bukti-bukti tentang depresi dan pola makan cukup meyakinkan, dan kami kembali memberikan konfirmasi.”

Walaupun penelitian cross-sectional dianggap “bermanfaat”, arah hubungan “tidak jelas”. “Meta-analisis baru ini mengikutsertakan bukti-bukti dari penelitian longitudinal di mana hubungan tersebut lebih jelas terlihat,” tambahnya.

“Dengan hasil analisis ini, kita bisa menunjukkan bahwa ada bukti yang cukup baik tidak hanya dari penelitian cross-sectional, tetapi juga dari penelitian longitudinal bahwa terdapat hubungan antara diet sehat dengan depresi, dan hal tersebut membuka jalan untuk menjalankan uji klinis,” kata Lassale.

Beberapa uji klinis sebenarnya sudah dilakukan. Salah satu co-author dari meta-analisis ini, Felice Jacka, PhD, dari Pusat penelitian mood dan makanan, Deakin University, Geelong, Australia, sebelumnya pernah membantu menjalankan penelitian berjudul SMILES trial. Hasil penelitian ini dipublikasikan tahun lalu dan menunjukkan bahwa pasien dengan diagnosis depresi yang mengikuti program diet Mediterranean selama 12 minggu mengalami perbaikan signifikan dibandingkan pasien yang hanya menerima dukungan sosial saja.

“Ini adalah penelitian klinis pertama yang menunjukkan hasil yang baik dan memberikan semangat, namun kita memerlukan lebih banyak penelitian,” kata Lassale. “Jika ada satu saja lagi penelitian klinis yang terselesaikan, para ahli mungkin bisa mulai membuat petunjuk diet untuk digunakan ahli kesehatan jiwa,” tambahnya.

Memperkuat dan Meyakinkan

Tim Medscape Medical News juga meminta pendapat lain dari ahli yang tidak terkait dengan penelitian ini. Drew Ramsey, MD, associate professor of psychiatry dari Columbia University, New York, mengatakan bahwa temuan ini “cukup meyakinkan karena konsisten” dengan penelitian sebelumnya.
“Mereka memperkuat ide bahwa makanan merupakan alat yang bisa digunakan sebagai alat untuk memperbaiki kesehatan kita, termasuk kesehatan jiwa,” katanya.

Ramsey adalah pendiri the Brain Food Clinic yang sudah menuliskan sejumlah buku populer tentang nutrisi dan kesehatan jiwa serta memberikan kursus online terkait cara makan untuk mengatasi depresi.
“Menanyakan tentang nutrisi di setting klinis sudah merupakan kewajaran, dan sekarang hal ini menjadi kewajaran berbasis bukti,” katanya.

“Bagaimanapun, masih tersisa pertanyaan terkait bagaimana menggunakan bukti-bukti ini,” tambahnya.
“Apakah ini berarti bahwa psikiater perlu melakukan screening dan merujuknya pada pelatih diet, ahli nutrisi, atau ahli gizi? Apakah ini berarti kita sebaiknya memasukkan evaluasi nutrisi sebagai bagian dari pemeriksaan psikiatri?” tanyanya.

Ramsey mengatakan bahwa diet sehat hanyalah bagian dari jawaban tentang cara mengatasi depresi. “Tetapi hasil review ini ‘sesuai dengan apa yang kita lihat’, bahwa nutrisi adalah bagian dari misteri besar tentang depresi; walupun untuk sebagian besar pasien, hal ini bukanlah potongan yang lengkap untuk mendapatkan solusi.”

Laurel Cherian, MD, dari Departemen Sains Neurologi Rush University Medical Center, Chicago, juga memberikan komentarnya. “Penelitian ini menarik karena melibatkan data penelitian longitudinal dan juga memeriksa perbedaan antara jenis pola makan,” kata Cherian.

“Salah satu batasan penelitian ini adalah bahwa penelitian yang diikutkan cukup heterogen dalam mendefinisikan depresi dan cara membandingkan kualitas diet,” dia menambahkan.

“Walaupun begitu, penilitian ini menambahkan sejumlah bukti yang menyebutkan bahwa pola makan bisa menjadi bagian dari pendekatan komprehensif untuk mengobati dan mencegah depresi,” dia menyimpulkan. “Obat, terapi, dan olahraga juga dapat bermanfaat, dan pasien akan mendapatkan manfaat terbesar saat mereka menggunakan gabungan pendekatan tersebut. Penelitian ini semakin memperkuat argumen yang menyarankan agar diadakan uji klinis tentang intervensi pola makan untuk pasien depresi.”

Sumber:
https://www.medscape.com/viewarticle/902685
Lassale, C., Batty, G. D., Baghdadli, A., Jacka, F., Sánchez-Villegas, A., Kivimäki, M., Akbaraly, T. 2018. Healthy dietary indices and risk of depressive outcomes: a systematic review and meta-analysis of observational studies. Molecular Psychiatry. doi: 10.1038/s41380-018-0237-8.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.