Berita psikiatri: Penelitian terbaru tentang gangguan afektif bipolar

Dengan berakhirnya tahun 2018, kita akan menyambut datangnya tahun 2019 dengan terus berkembang dan berusaha. Namun kita juga perlu melihat kembali apa saja yang telah dihasilkan selama tahun 2017-2018. Beberapa penelitian terbaru telah memberikan kontribusi besar terkait penanganan gangguan bipolar. Kita perlu meninjau temuan-temuan tersebut untuk menghasilkan efek terapi yang optimal bagi pasien, namun tentu saja kita perlu menilai dengan kritis, karena bisa saja temuan-temuan tersebut akan dibantah oleh hasil penelitian yang lain.

 

Kapan olanzapin perlu digunakan untuk bipolar?

 

Olanzapin merupakan salah satu obat yang efektif untuk mania akut, namun banyak yang kurang menyukainya karena efek samping. Jadi, kapankah saat yang tepat untuk menggunakan olanzapin?

Penelitian metaanalisis oleh Samara et al (2017) menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini menunjukkan efek yang paling besar pada kondisi mania yang berat. Olanzapin menurunkan skor Young Mania Rating Scale (YMRS) sebesar 2,6 poin pada mania ringan (YMRS 20-25), 4,7 poin pada mania sedang (YMRS 25-35), dan 8 poin pada mania berat (YMRS 35-60). Walaupun efek ini bervariasi, seluruh kelompok subyek mengalami efek samping yang setara. Dosis rata-rata pada penelitian adalah 13 mg/hari.

Makna penelitian ini pada praktik sehari-hari: Olanzapin dapat berfungsi sebagai mood stabilizer yang memiliki risiko tinggi, namun juga memiliki efek yang besar. Penggunaan antipsikotik ini mungkin lebih bermanfaat pada kondisi mania berat. Onset kerjanya cepat, sehingga dapat digunakan untuk mania akut bersama litium atau antikonvulsan, kemudian ditaper-off setelah 3-6 bulan. Perubahan ini mungkin dapat mengurangi risiko tardive dyskinesia dan metabolic syndrome. Walaupun begitu, belum diketahui secara pasti apakah proses tapering ini dapat memicu episode baru.

 

Dapatkah psikoterapi menjadi terapi tunggal untuk gangguan afektif bipolar II ?

 

Psikoterapi tanpa mood stabilizer selama ini dianggap sebagai pilihan yang berisiko tinggi untuk pasien dengan gangguan bipolar I, karena episode manik dapat memiliki efek yang merusak. Bagaimana dengan bipolar II?

Pada sebuah penelitian, 92 pasien dewasa dengan bipolar II episode depresi dirandomisasi untuk mendapatkan psikoterapi+plasebo atau psikoterapi+quetiapin (Swartz et al, 2018). Psikoterapi yang digunakan adalah Interpersonal and Social Rhythm Therapy (IPSRT), yaitu psikoterapi yang mendorong pasien untuk menjalankan jadwal rutin kegiatan harian dan tidur sambil tetap mengidentifikasi konflik identitas dan konflik relasi yang muncul sepanjang kehidupan pasien.

Perbaikan dapat teramati lebih cepat pada kelompok yang diberi medikasi, namun setelah 20 minggu, respon cenderung sama di kedua kelompok. Pasien yang hanya mendapat psikoterapi tidak mengalami efek samping seperti peningkatan berat badan dan sedasi.

Makna penelitian ini pada praktik sehari-hari: Penelitian ini memberikan jawaban awal yang dibutuhkan untuk pasien dengan bipolar II yang tidak bisa atau tidak mau mengkonsumsi mood stabilizer dalam jangka panjang. Efek penstabil-mood dari psikoterapi IPSRT telah teramati selama periode 2 tahun penelitian. Walaupun bukan merupakan obat, terapi ini dapat menstabilkan hormon neuroaktif pada gangguan afektif bipolar, sekaligus juga memperbaiki mekanisme biologis yang sangat penting pada gangguan ini, yaitu irama circadian.

 

Probiotik dan antioksidan untuk terapi adjunctive bipolar

 

Terdapat dua penelitian kecil yang menunjukkan efek terapi alami pada gangguan afektif bipolar. Penelitian menunjukkan bahwa probiotik dapat mengurangi tingkat rehospitalisasi sampai sepertiga setelah episode manik (Dickerson et al, 2018). Sedangkan, penelitian lainnya menunjukkan bahwa penggunaan suplementasi koenzim q10 (ubiquinon) dapat memperbaiki depresi bipolar dengan effect size yang cukup besar (Mehrpooya et al, 2018). Walaupun kecil, kedua penelitian ini memiliki rancangan penelitian yang cukup baik untuk mendukung hasil yang disajikan.

Probiotik merupakan bakteri baik yang menghuni saluran pencernaan, dan meningkatkan jumlah populasinya tampaknya dapat memperbaiki kesehatan jiwa dengan memengaruhi neurotransmitter, faktor neurothropic, dan sinyal-sinyal dari hormon dan sel imun. Apakah perburukan bakteri baik juga memperbutuk mood?

Dua penelitian pada tahun 2018 menunjukkan bahwa dugaan tersebut bisa jadi benar. Penelitian pertama membandingkan sampel feces pasien dengan bipolar dengan populasi normal dan menemukan hubungan antara durasi penyakit dengan peningkatan populasi bakteri yang sering mencetuskan peradangan (inflammatory strains) (Painold et al, 2018). Sedangkan, penelitian kedua menemukan peningkatan gejala mania saat pasien dengan bipolar mengonsumsi makanan kaya nitrat seperti dendeng sapi (jerky). Uji pada binatang juga menunjukkan adanya efek “pro-manik” pada daging kaya nitrat dan bahwa makanan kaya nitrat dapat menyebabkan perubahan flora usus ke kondisi yang kurang baik bagi kesehatan (Khambadkone et al, 2018).

Makna penelitian pada praktik sehari-hari: Masih diperlukan lebih banyak penelitian dan sebaiknya kita menunggu terlebih dahulu sebelum menerapkannya pada praktik sehari-hari, namun dalam kondisi tertentu mungkin terapi tersebut dapat dipertimbangkan. Banyak pasien lebih suka pengobatan alami, dan preferensi pasien tersebut juga dapat mempengaruhi respon terapi. Probiotik dan koenzim q10 telah teruji aman digunakan dalam berbagai kondisi, dan keduanya memiliki manfaat kesehatan yang relevan untuk banyak pasien dengan bipolar.

 

Gangguan afektif bipolar pada anak: Lithium kembali dipertimbangkan dan Lurasidon mulai masuk pada pilihan

 

Pada bulan Maret 2018, FDA memberikan persetujuan untuk penggunaan antipsikotik atipikal lurasidone (Latuda) untuk digunakan pada kasus depresi bipolar pada anak. Sementara itu, tiga publikasi penelitian terbaru juga telah diterbitkan dan ketiganya menunjukkan hasil penelitian yang mendukung penggunaan lithium pada kasus bipolar pada anak. Kedua terapi ini disetujui oleh FDA pada pasien muda (Lithium pada usia 12 ke atas, dan Lurasidone pada usia 10 ke atas), tetapi kedua terapi ini digunakan pada fase berbeda dari gangguan bipolar. Lurasidone digunakan pada depresi akut, sedangkan lithium digunakan untuk semua fase penyakit ini (Delbello et al, 2017; Amerio et al, 2018; Duffy et al, 2018; Grant et al, 2018).

Makna penelitian ini pada praktik sehari-hari: Dalam kasus bipolar pada anak, Lithium memerlukan penyesuaian dosis terapi untuk mempertahankan konsentrasi pada darah yang relatif sama dengan konsentrasi pada dewasa, sedangkan lurasidone dapat digunakan dengan dosis setara dosis dewasa. Keduanya juga memiliki profil efek samping yang cukup mirip pada populasi anak maupun dewasa. Lurasidone kini dapat menjadi pilihan terapi yang disetujui FDA untuk depresi bipolar. Terapi lain yang juga disetujui untuk kondisi ini adalah kombinasi olanzapine-fluoxetine, sehingga penggunaan terapi selain kedua kombinasi ini sebenarnya adalah penggunaan off-label. Pada anak maupun dewasa, lithium bermanfaat dengan baik pada kasus-kasus bipolar di mana terdapat pemisahan yang jelas antara fase bipolar dan fase manik. Sementara itu, antipsikotik atipikal seperti lurasidone bekerja lebih optimal pada kasus-kasus di mana terdapat dominansi dari episode campuran atau rapid cycling, atau pada kasus dengan adanya gangguan komorbid lain.

 

Penelitian yang kembali mendukung penggunaan lithium

 

Tiga penelitian baru kembali memberikan bukti bahwa lithium layak diperhitungkan sebagai terapi gangguan afektif bipolar. Jika dibandingkan dengan mood stabilizer lainnya, pasien yang menggunakan lithium memiliki tingkat rehospitalisasi yang lebih rendah. Hal ini ditunjukkan dalam suatu penelitian kohort dengan 18.000 pasien dengan gangguan bipolar yang diikuti selama rata-rata 7 tahun. Pasien yang menggunakan lithium lebih rendah tingkat rehospitalisasi karena gangguan psikiatri ataupun rawat inap karena sebab lain. Antipsikotik long-acting menempati peringkat kedua terbaik setelah lithium dalam hal pencegahan rehospitalisasi (Lähteenvuo et al, 2018). Hasil ini juga didukung oleh dua penelitian besar pada tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lithium menurunkan tingkat hospitalisasi dengan lebih baik dibandingkan obat lain baik pada gangguan afektif bipolar maupun depresi unipolar (total n = 158.000) (Tiihonen et al, 2017; Joas et al, 2017).

Penelitian lain menunjukkan hasil yang agak mengejutkan. Semua mood stabilizer selain lithium dan lamotrigine berasosiasi dengan peningkatan risiko stroke. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah penelitian case-control pada 19.0000 orang dengan gangguan afektif bipolar (risk ratio = 1.2-1.76). Hasil penelitian ini tidak muncul begitu saja. Sebelumnya, sudah pernah ada penelitian sebelumnya yang juga menemukan peningkatan risiko tersebut pada carbamazepin dan valproat (pada pasien dengan epilepsi), pada antipsikotik, dan bahkan pada antidepresan secara umum. Mekanisme terjadinya peningkatan risiko ini tidak diketahui, namun diduga terkait dengan mekanisme koagulasi ataupun mekanisme anti-koagulasi (Chen et al, 2018; Post, 2018).

Keamanan Lamotrigin terkait dengan risiko stroke merupakan temuan baru, tetapi tidak demikian halnya dengan Lithium. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa lithium mungkin dapat menurunkan risiko stroke dan memiliki efek kardioprotektif (Chen et al, 2019; Chen et al, 2018; Post, 2018).

Penelitian meta-analysis oleh Kessing et al (2018) juga menunjukkan bahwa lithium memiliki efek yang lebih baik dalam terapi maintenance untuk gangguan afektif bipolar. Hal ini ditunjukkan oleh 8 dari 9 penelitian observational yang digabungkan datanya untuk dianalisis. total jumlah subyek dalam analisis ini mencapai 14.000 pasien.

Makna penelitian ini pada praktik sehari-hari: Perlu dipertimbangkan alasan mengapa terapi yang tergolong paling efektif bagi gangguan afektif bipolar justru merupakan terapi yang kurang diminati. Walaupun lithium menurunkan angka rehospitalisasi dan bunuh diri, lithium bereaksi lebih lambat dibandingkan antipsikotik, sehingga penggunaannya kurang disukai di bangsal jiwa. Efek buruknya pada ginjal juga merupakan salah satu penyebab kurang disukainya lithium, tetapi semua efek ini perlu dipertimbangkan bersama dengan manfaat kesehatan lithium, termasuk efek dalam mencegah gangguan jantung, stroke, kanker, gangguan saraf, dan demensia. Terdapat pula kepercayaan bahwa efek lithium sulit untuk ditoleransi pasien, namun justru pada beberapa area yang sangat penting untuk pasien, efek samping lithium lebih mudah ditoleransi daripada mood stabilizer lain.

Tidak seperti obat kejiwaan lainnya, lithium lebih banyak tersedia dalam bentuk generik. Maka, ada lebih sedikit dukungan sponsor untuk pendidikan atau seminar terkait lithium. Saya (Chris Aiken, MD) cukup senang dapat menyajikannya ulang dalam kolom ini. Saya harap saya dapat bagikan lebih banyak pada tahun 2019.

Referensi:
http://www.psychiatrictimes.com/bipolar-disorder/year-bipolar-disorder-practice-changing-articles-2018 (artikel Psychiatric times oleh Chris Aiken, MD, 6 Desember 2018)

Samara MT, Goldberg Y, Levine SZ, et al. Initial symptom severity of bipolar I disorder and the efficacy of olanzapine: a meta-analysis of individual participant data from five placebo-controlled studies. Lancet Psychiatry. 2017;4:859-867.

Swartz HA, Rucci P, Thase ME, et al. Psychotherapy alone and combined with medication as treatments for bipolar II depression: a randomized controlled trial. J Clin Psychiatry. 2018;79:pii:16m11027.

Dickerson F, Adamos M, Katsafanas E, et al. Adjunctive probiotic microorganisms to prevent rehospitalization in patients with acute mania: a randomized controlled trial. Bipolar Disord. 2018;20:614-621.

Mehrpooya M, Yasrebifar F, Haghighi M, et al. Evaluating the effect of coenzyme Q10 augmentation on treatment of bipolar depression: a double-blind controlled clinical trial. J Clin Psychopharmacol. 2018;38:460-466.

Painold A, Mörkl S, Kashofer K, et al. A step ahead: exploring the gut microbiota in inpatients with bipolar disorder during a depressive episode. Bipolar Disord. July 6, 2018; E-pub ahead of print.

Khambadkone SG, Cordner ZA, Dickerson F, et al. Nitrated meat products are associated with mania in humans and altered behavior and brain gene expression in rats. Mol Psychiatry. July 18, 2018; E-pub ahead of print.

DelBello MP, Goldman R, Phillips D, et al. Efficacy and safety of lurasidone in children and adolescents with bipolar I depression: a double-blind, placebo-controlled study. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2017;56:1015-1025.

Amerio A, Ossola P, Scagnelli F, et al. Safety and efficacy of lithium in children and adolescents: a systematic review in bipolar illness. Eur Psychiatry. 2018;54:85-97.

Duffy A, Heffer N, Goodday SM, et al. Efficacy and tolerability of lithium for the treatment of acute mania in children with bipolar disorder: a systematic review. Bipolar Disord. 2018;20:583-593.

Grant B, Salpekar JA. Using lithium in children and adolescents with bipolar disorder: efficacy, tolerability, and practical considerations. Paediatr Drugs. 2018;20:303-314.

Lähteenvuo M, Tanskanen A, Taipale H, et al. Real-world effectiveness of pharmacologic treatments for the prevention of rehospitalization in a finnish nationwide cohort of patients with bipolar disorder. JAMA Psychiatry. 2018;75:347-355.

Tiihonen J, Tanskanen A, Hoti F, et al. Pharmacological treatments and risk of readmission to hospital for unipolar depression in Finland: a nationwide cohort study. Lancet Psychiatry. 2017;4:547-553.

Joas E, Karanti A, Song J, et al. Pharmacological treatment and risk of psychiatric hospital admission in bipolar disorder. Br J Psychiatry. 2017;210:197-202.

Chen PH, Tsai SY, Pan CH, et al. Mood stabilisers and risk of stroke in bipolar disorder. Br J Psychiatry. October 8, 2018; E-pub ahead of print.

Post RM. The new news about lithium: an underutilized treatment in the United States. Neuropsychopharmacology. 2018;43:1174-1179.

Chen PH, Chao TF, Kao YH, et al. Lithium interacts with cardiac remodeling: the fundamental value in the pharmacotherapy of bipolar disorder. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2019;88:208-214.

Kessing LV, Bauer M, Nolen WA, et al. Effectiveness of maintenance therapy of lithium vs other mood stabilizers in monotherapy and in combinations: a systematic review of evidence from observational studies. Bipolar Disord. February 14, 2018; E-pub ahead of print.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.