Perjalanan ke Taiwan “Developing the Collaborative Research Platform and Professional Training Workshop for Community Mental Health in Developing Countries” 30 Oktober – 5 November 2016

Tim dari bagian ilmu kedokteran jiwa UGM telah menghadiri acara “Developing the Collaborative Research Platform and Professional Training Workshop for Community Mental Health in Developing Countries” yang diselenggarakan di Taiwan pada 30 Oktober – 5 November 2016. Staf yang berangkat yaitu Dr dr Carla R Marchira, SPKJ(K), Dr dr Budi Pratiti SpKJ(K), dr Ronny Tri Wirasto, SpKJ(K), Dr Dra Sumarni MSi, dr Dra Sumarni DW, MSc, dan dua orang residen, yaitu dr Afkar Aulia dan dr Baiq Rohaslia Rhadiana. Laporan perjalanan sebagai berikut:
29 Oktober 2016: Berangkat dari Yogyakarta menuju Jakarta dengan pesawat, dilanjutkan dengan penerbangan Jakarta-Taipei. Tiba di hotel pada sore hari
30 Oktober 2016: Pembukaan dan perbandingan kondisi antar Negara
Lokasi: National defense medical center, Songshan
Pidato pembukaan diberikan oleh Deputy Foreign Minister Chih-Chung Wu (Ministry of Foreign Affairs), Director Ching-Hui Loh (Department of Healthcare and Medical Care, Veterans Affairs Council), President Huey-Kang Sytwu (National Defense Medical Center), dan Superintendent Kwong-Leung Yu (Ping-Tung Christian Hospital)
Presentasi:
“Caregiving for persons with serious mental illness: cross-cultural issues” (Prof Mohan Isaac, University of Western Australia)
“Yuli: Humanity and Creativity” (Dr. Dinah Palmera P. Nadera dari Foundation for Advancing Wellness, Instruction and Talents, Philippines dan Erminia Colucci dari Queen Mary University of London)
“Mental Health in Mass Grief and Collective Mourning” (Dr. Yongyud Wongpiromsarn, Ministry of Public Health, Thailand)
“Recovery Workforce – developing Peer Support Specialists framework in Singapore” (Dr. Jern-Yi Leong, IMH, Singapore)
“Community based services for people with mental illness in Vietnam” (Nguyen Thanh Tam, BasicNeeds Vietnam)
“Debate on misogyny and mental illness under murder case in Korea” (Dr. Young Moon Lee, South Korea)
“The roles of psychiatric nurses in a recovery oriented service in a private psychiatric setting in Bangkok” (Thanittha Kleebbua dan Chutima Talsatit dari Bangkok Hospital, Thailand)
“Psycho-education for schizophrenia and mental health program in school” (Dr. Lam Tu Trung, Da-Nang Psychiatric Hospital, Vietnam)
“Evaluation of Implemented Community Based Mental Health Services” (Dr. Le Le Khaing, University of Medicine, Yangon, Myanmar)
“Workshop Design & Vision for Further Collaboration” (Prof. Mohan Isaac & Prof. Duujian Tsai)

Pada sore hari, rombongan menuju ke Hualien dengan kereta untuk persiapan acara hari selanjutnya.

Kesimpulan hari pertama: Setiap Negara memiliki tantangannya tersendiri dalam memberikan layanan kesehatan jiwa. Ada Negara yang berusaha keras untuk menggunakan sumber daya yang terbatas. Ada Negara yang memiliki ketidaksetaraan gender yang tinggi, yang tercermin dalam angka kriminalitas terhadap wanita yang sangat tinggi. Ada negara yang berusaha bangkit dari kesedihan akibat kehilangan sosok raja yang dicintai. Ada pula negara yang memiliki masalah budaya terkait pemasungan. Masalah yang dihadapi masing-masing budaya dan sudut pandang perlu disikapi secara bijak apabila akan dilakukan kerjasama antar negara. Kerjasama terintegrasi antara pemerintah, dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil terbaik.

31 Oktober 2016: Kunjungan ke Tzu Chi Medical Center, Tzu Chi University, dan Tzu Chi Abode, Hualien

Dalam kunjungan ini, peserta dipersilahkan melihat-lihat fasilitas di Tzu Chi medical center, di antaranya day care untuk pasien geriatri dan pasien psikotik. Peserta juga berkeliling untuk mengetahui sejarah Tzu chi dan sistem kaderisasi sukarelawan untuk membantu penanganan bencana. Sistem kesehatan ini didanai oleh organisasi non-profit agama Buddha, namun sukarelawan, direktur, maupun penerima bantuan tidak harus memeluk agama Buddha. Indonesia sendiri sudah memeroleh bantuan dalam kondisi tsunami Aceh maupun di Jakarta.

Kesimpulan hari kedua: Agama dapat menjadi sumber energi yang besar dalam memberikan pertolongan untuk sesama. Tetapi agama tidak perlu menjadi sarana untuk membeda-bedakan korban yang membutuhkan bantuan.

1-2 November 2016: Kunjungan ke Taipei Veterans General Hospital cabang Yuli dan Therapeutic Community di Yuli

Pada kunjungan ini, peserta diajak melihat-lihat Taipei General veterans hospital cabang Yuli dan Therapeutic Community yang awalnya diprakarsai oleh Taipei General Veterans Hospital.

Pada hari pertama (1 November 2016), peserta mengunjungi Taipei Veterans General Hospital cabang Yuli dan melihat fasilitas halfway house yang terintegrasi dengan rumah sakit. Peserta juga mengunjungi tempat pengolahan makanan rumah sakit dan tempat penjualan souvenir. Keduanya mempekerjakan ODGJ dan masih merupakan fasilitas dalam rumah sakit. Kemudian peserta berpindah tempat dengan bus untuk mengunjungi pabrik red bean jelly dan penginapan yang keduanya juga mempekerjakan ODGJ. Pada sore hari, peserta mendengarkan pertunjukan drum yang beberapa anggotanya juga merupakan ODGJ.

Pada hari kedua, diberikan pidato penutupan kunjungan ke yuli oleh pihak rumah sakit. Peserta juga membawa pulang puisi tentang Yuli yang dibuatkan oleh Vim Nadera, peserta dari Filipina. Kemudian, peserta mengunjungi program rumah ODGJ yang ada di komunitas. Kemudian peserta berpindah dengan kereta menuju Kaohsiung untuk mengikuti PRCP keesokan harinya.

Kesimpulan: Terdapat banyak tantangan untuk mengembalikan ODGJ sebagai anggota komunitas yang produktif. Namun hal itu terbukti bukanlah kemustahilan. Therapeutic Community di Yuli berpendapat bahwa untuk pulih, mereka harus bisa berkarya pada komunitas umum, bukan hanya di antara mereka sendiri. Berbagai pekerjaan pun bisa tersedia, misalnya memasak, mengangkut barang, membuat karya seni, ataupun bermain musik. Ada kalanya mereka tetap harus tinggal di fasilitas perumahan yang disediakan, namun mereka bisa tetap hidup mandiri dan bahkan membayar biaya sewa.
17th Scientific Meeting of Pacific Rim College of Psychiatrist

Acara berlangsung di Kaohsiung, Taiwan. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK UGM mengirimkan 2 residen, 3 psikiater, 1 psikolog, dan 1 sosiolog.

3 November 2016 :
Acara dibuka oleh Profesor Helen Herrman MD, MBBS, BMedSc, FRANZCP, FFPH(UK), FAFPHM, presiden dari Pacific rim college of Psychiatrist.

Terdapat enam presentasi oral dari UGM, yaitu :

“Mental health research in Indonesia: Survey of studies published since 1990” oleh Afkar Aulia;
“Academic Achievement of ADHD Students in Elementary School” oleh Dr dr Budi Pratiti, SpKJ;
“Building collaborative rehabilitation system for severe mental illness in Yogyakarta” oleh Baiq Rohaslia Rhadiana;
“Training program for primary health workers to provide psychoeducation to caregivers of persons with psychotic disorder” oleh Dr dr Carla R. Marchira, SpKJ(K);
“The influence of group therapy of family emotional expression to depression patient in Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta, Indonesia” oleh Dr Dra Sumarni, MSi; dan
“Capacity building of psychosocial rehabilitation practitioner as collaborative implementation between Indonesia and Taiwan” oleh dr Ronny Tri Wirasto, SpKJ.

Terdapat pula presentasi poster dari Dr dra Sumarni DW, MSc berjudul “Influence of Humor Games Based on Local Culture Wisdom and Spiritual Support to Depression, Social Interaction Disorders, and Quality of Sleep on Elderly in Temporary Dwelling.”
Selain presentasi dari kami, terdapat pula berbagai presentasi yang tersaji dalam 1 key note lecture 6 concurrent session. Yaitu:
• Key note 1: Title: Education for partnership in mental health work (Norman Sartorius)
• Concurrent session A (Training psychiatrists for the future; gender and mental health; Advancing suicide prevention through partnership: engaging community, family, and health care providers in the Pacific Rim; Community survey of mental health and substance abuse in the Asia-Pacific region; dan Mood disorder: from genetics to precision medicine)
• Concurrent session B (Doctor under stress; Community mental health and regional collaboration; Mental health literacy across the life span; Substance use disorders: genetic, molecular and pathophysiological aspects translating to clinical phenotypes; dan Neuromodulation in mood disorder: ECT, rTMS and tDCS)
• Concurrent session C (Mindfulness therapy program for children with ADHD; Suicide: new findings on variations in risk over place, time, and life course; Earlier career researcher symposium: clinical addiction; Mood disorder: a longitudinal and multiple system view; dan Nutritional medicine as mainstream in psychiatry)
• Concurrent session D (Developmental delay and major child mental health disorders in Thailand; Military Suicide Prevention in Taiwan; Social effect on mental health; Another road across complication, standard treatment to alternative treatment: An update of current evidence in bipolar disorder; dan Late-life depression and cognitive disorder)
• Concurrent session E (Comparative approach to recovery models for severe mental illness; Investigation and intervention for negative symptom, cognitive impairment and functional outcome of schizophrenia and psychotic-like experiences in Taiwan and Hong Kong; International cooperation of psychosocial rehabilitation among Vietnam, Indonesia, Thailand and Taiwan; Indiscriminate/ random killing: policy making from the perspectives of criminal justice and mental health; dan Dementia research in the Asia-Pacific region)

Kesimpulan hari 1: Terdapat berbagai topic pada seminar hari pertama. Di antaranya, kita menjadi mengetahui beberapa kondisi di negara lain. Di Fiji, sebagai sebuah Negara berkembang yang banyak menjadi tujuan wisata, penyalahgunaan zat menjadi masalah yang cukup serius. Hal ini juga disebabkan karena adanya budaya setempat yang mendukung minum-minuman keras secara berlebihan. Fasilitas yang masih terbatas menyebabkan perlunya kolaborasi dengan pusat kesehatan asing. Kita bisa membandingkan dan mengetahui bahwa berbagai masalah yang ada di Negara berkembang memiliki beberapa kemiripan walaupun tetap saja berbeda, terutama dari segi budaya.
Kami juga mendapatkan ilmu tentang pentingnya kemampuan membaca pada pasien geriatri dengan demensia. Diharapkan, dengan keingintahuan dan pembelajaran, perburukan gejala demensia dapat diperlambat. Diberikan pula contoh bahwa beberapa akademisi ternyata dapat berkiprah sampai usia yang sangat lanjut.

Sedangkan, untuk pasien anak dan remaja, konferensi banyak membahas mengenai ADHD. Beberapa hal yang disoroti misalnya adalah penggunaan psikoterapi dan pencapaian akademis dari anak dengan ADHD. Diharapkan dengan banyaknya modalitas terapi yang ada, anak dengan ADHD dapat berfungsi secara optimal di rumah maupun di sekolah dan menjalani fase perkembangan dengan baik.

Cukup menarik bahwa pada konferensi, terdapat presentasi mengenai pencegahan bunuh diri dan presentasi mengenai “assisted suicide”. Perbedaan etika, budaya, dan kebijakan antar negara merupakan berbagai hal yang menyebabkan perbedaan kebijakan. Di Kanada, psikiater ikut membantu menentukan apakah sang pasien diperbolehkan mendapatkan bantuan medis untuk mati. Sedangkan, di banyak negara lain, hal ini masih merupakan perbincangan yang hangat.

4 November 2016 :
Pada hari kedua konferensi, peserta dari UGM mengikuti 2 concurrent session dan 1 keynote lecture. Semua presentasi dari Universitas Gadjah Mada sudah dilaksanakan pada hari pertama.
• Keynote 2: Personalized medicine of mood stabilizers in Bipolar I Disorder (Andrew T.A Cheng)
• Concurrent Session F (Mental health policy in Asia; Lifestyle medicine and nutraceuticals in psychiatry; Treatment of schizophrenia in Asia; Psychosis and functionality measurement; Addiction and psychosocial interventions; dan Development of education and training of psychiatry in Pacific Rim region)
• Concurrent Session G (Development of psychosocial services / programs in Pacific Rim region; Neurobiology and management of drug abuse; Meet our Seniors; REAP: What have we achieved?; Eating disorders: presentation, medical utilization, and comorbidities; dan Effectiveness of non-pharmacological therapy)

Kesimpulan hari kedua: Peserta mendapatkan informasi mengenai respon terapi terhadap bipolar disorder. Terdapat penelitian yang menghubungkan genetik dengan respon terapi dengan lithium. Lithium tetaplah merupakan terapi dengan respon paling tinggi pada gangguan bipolar, namun tidak semua orang berrespon dengan terapi ini. Diperlukan biomarker yang pasti untuk menentukan pasien mana yang cocok menggunakan terapi lithium.

Peserta juga mendapatkan informasi mengenai REAP, yaitu “Research on East Asia Psychotropic Prescription”, yang kemudian diperluas ke wilayah Asia Tenggara sehingga berubah nama menjadi “Research on Asia Psychotropic Prescription”. Penelitian ini merupakan penelitian besar hasil kolaborasi dari beberapa negara. Didapatkan hasil bahwa trend peresepan antipsikotik mulai bergeser dan dokter lebih cenderung meresepkan antipsikotik atipikal. Terdapat pula data bahwa pasien non-psikotik mulai banyak mendapatkan pengobatan dengan antipsikotik atipikal. Terdapat pula beberapa data tentang peresepan polifarmasi yang dianggap presentan kurang rasional, misalnya saja menggabungkan dua antipsikotik tipikal sekaligus.
Terdapat pula topik mengenai kebijakan mengenai kesehatan jiwa di Asia. Dalam menjalin kerjasama dengan negara lain, dokter perlu memperhatikan hukum dan budaya setempat, agar terjalin kerjasama yang produktif dan berkelanjutan.

Pada 4 november 2016, Rombongan UGM menuju ke Taipei dengan kereta untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Indonesia pada 5 November 2016.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.